Pernahkah Anda tiba-tiba merasa seolah pernah berada di tempat ini sebelumnya? Aroma kopi yang menusuk hidung, percakapan yang sama persis, bahkan siluet seseorang di kejauhan terasa begitu familiar, meski otak Anda bersikeras ini adalah pertama kalinya. Sensasi aneh, sedikit menakutkan, sekaligus menenangkan ini, kita kenal dengan sebutan déjà vu. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Apakah ini sekadar trik otak, atau ada sesuatu yang lebih dalam di balik pengalaman ini?
Ketika Otak "Salah Baca" Realitas
Déjà vu, bahasa Prancis untuk "sudah terlihat," dialami oleh sekitar 60-80% orang dewasa. Fakta ini saja sudah menunjukkan bahwa fenomena ini bukan sesuatu yang aneh atau supranatural. Sebaliknya, para ilmuwan meyakini bahwa déjà vu adalah hasil dari "kesalahan" dalam pemrosesan memori di otak.
Beberapa teori yang paling populer berpusat pada peran hippocampus dan rhinal cortex, dua area di otak yang bertanggung jawab atas memori dan pengenalan. Hippocampus berfungsi untuk menyimpan dan mengingat kembali memori episodik (kejadian spesifik dalam hidup), sedangkan rhinal cortex menentukan apakah suatu objek atau situasi terasa familiar.
Bayangkan hippocampus sebagai perpustakaan besar, tempat setiap buku adalah memori kita. Rhinal cortex, di sisi lain, adalah penjaga perpustakaan yang tahu buku mana yang pernah kita lihat sebelumnya.
Teori "Dual Processing" menyatakan bahwa déjà vu terjadi ketika rhinal cortex mengirimkan sinyal familiaritas ke otak sebelum hippocampus berhasil menyimpan informasi kejadian tersebut. Dengan kata lain, Anda merasa familiar dengan sesuatu sebelum otak benar-benar mencatatnya sebagai memori. Akibatnya, Anda merasa "pernah mengalami ini sebelumnya" padahal sebenarnya tidak.
"Glitch" dalam Memori yang Terbagi

Teori lain, yang dikenal sebagai "Split Perception", berpendapat bahwa déjà vu terjadi ketika kita melihat suatu kejadian, tetapi untuk sesaat perhatian kita teralihkan. Misalnya, Anda sedang berjalan di jalan baru, tetapi sejenak fokus Anda tertuju pada telepon genggam. Ketika Anda kembali melihat sekeliling, otak Anda memproses adegan tersebut seolah-olah Anda melihatnya dua kali, menciptakan ilusi keakraban.
Penelitian yang dilakukan Anne Cleary, seorang profesor psikologi di Colorado State University, mendukung teori ini. Dalam serangkaian eksperimen, Cleary dan timnya menemukan bahwa orang lebih mungkin mengalami déjà vu ketika dihadapkan pada adegan yang memiliki tata letak spasial yang mirip dengan adegan yang pernah mereka lihat sebelumnya, bahkan jika mereka tidak ingat dengan jelas adegan yang sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa déjà vu mungkin dipicu oleh pengenalan bawah sadar terhadap pola spasial.
Epilepsi dan *Déjà Vu* yang Lebih Intens
Meskipun déjà vu umumnya dianggap sebagai pengalaman normal, dalam kasus yang jarang terjadi, déjà vu yang intens dan berulang dapat menjadi gejala gangguan neurologis, terutama epilepsi lobus temporal. Pada penderita epilepsi lobus temporal, kejang dapat memicu aktivitas abnormal di area otak yang terkait dengan memori, menyebabkan pengalaman déjà vu yang kuat dan sering kali menakutkan. Jika Anda mengalami déjà vu yang sangat intens dan sering, konsultasi dengan dokter mungkin diperlukan.
Misteri yang Belum Sepenuhnya Terpecahkan
Meskipun ilmu pengetahuan telah memberikan beberapa penjelasan yang masuk akal tentang déjà vu, misteri di balik fenomena ini belum sepenuhnya terpecahkan. Mengapa "kesalahan" pemrosesan memori ini terjadi? Apakah déjà vu memiliki fungsi evolusioner? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menjadi topik penelitian yang menarik.
Lain kali Anda mengalami déjà vu, cobalah untuk tidak terlalu panik atau percaya pada teori-teori konspirasi. Alih-alih, anggap saja itu sebagai pengingat bahwa otak kita adalah mesin yang luar biasa kompleks, dan terkadang, mesin ini mengalami glitch. Mungkin juga, ini adalah kesempatan untuk merenungkan: bagaimana kita mempersepsikan realitas dan bagaimana memori membentuk pengalaman kita? Dan mungkin yang paling penting, apakah hidup kita benar-benar linier seperti yang kita yakini?













